JAKARTA, iNewsBalikpapan.id - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyebut jika pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka merupakan pasangan yang paling tidak berkomitmen menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu atau membentuk pengadilan HAM ad-hoc jika memenangi Pilpres 2024.
"Di sini (debat Pilpres 2024), Prabowo terlihat yang paling tidak memiliki komitmen. Dia juga bermasalah catatan masa lalunya," ucap Isnur kepada wartawan di Jakarta, belum lama ini.
Seolah jadi tradisi di debat-debat pilpres, Prabowo kembali diserang isu HAM. Di debat perdana Pilpres 2024, Selasa (12/12) lalu, capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo yang mengungkit dugaan keterlibatan Prabowo dalam penculikan puluhan aktivis pro-demokrasi pada kurun waktu 1997-1998.
Di sesi tanya jawab antar kandidat, Ganjar menanyakan dua hal. Pertama, apakah Prabowo akan membentuk pengadilan HAM apabila terpilih sebagai presiden sebagaiman rekomendasi DPR sejak 2009. Kedua, apakah Prabowo bisa membantu menemukan kuburan 13 aktivis yang hilang supaya keluarga korban bisa berziarah.
Dalam tanggapan pertama, Prabowo sempat menyebut pertanyaan Ganjar tendensius. Mantan Danjen Kopassus itu berdalih isu HAM selalu dijadikan peluru untuk menyerangnya saat elektabilitasnya sedang tinggi. Tak puas, Ganjar menyebut Prabowo tak tegas. Prabowo merespons secara emosional.
"Kenapa yang 13 orang hilang itu ditanyakan kepada saya? Itu tendensius Pak Ganjar. Wakil bapak (Mahfud MD) yang mengurus selama ini. Jadi, kalau memang keputusannya mengadakan pengadilan HAM, ya, kita adakan. Enggak ada masalah. Ya, namanya usaha," ujar Prabowo ketika itu.
Sejauh ini, Ganjar jadi satu-satunya calon presiden yang menyatakan secara tegas akan membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dalam debat perdana, capres nomor urut 1 Anies Baswedan lebih banyak mengulas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Meski begitu, Isnur belum sepenuhnya yakin Ganjar dan Anies bakal menjalankan komitmen mereka untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu jika memenangi Pilpres 2024, termasuk dengan membentuk pengadilan ad-hoc.
"Tentu, walaupun meragukan, kita harus mendorong dan memaksa negara untuk melakukan kewajiban hukumnya," imbuh dia.
Pembentukan pengadilan HAM merupakan harapan mayoritas keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu, semisal Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, Peristiwa Wasior dan Wamena 2001, Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003, serta Peristiwa Penembakan Misters (Petrus) 1982-1985.
Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, hingga kini pemerintah tak juga membentuk lembaga peradilan yang khusus menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat.
Isnur menjelaskan upaya membentuk pengadilan HAM ad-hoc selalu kandas lantaran terduga pelaku kerap berlindung di balik kekuasaan dan mendapatkan impunitas. Ia mencontohkan Wiranto yang justru dirangkul menjadi Menteri Koordinator Politik dan Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) pada periode pertama pemerintahan Jokowi.
Editor : Mukmin Azis
Artikel Terkait