JAKARTA, iNews.id - Kenaikan harga tiket candi Borobudur dianggap bukan cara tepat untuk konservasi atau melindungi cagar budaya. Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan kebijakan tersebut lebih bersifat komersialisasi daripada konservasi.
Seperti diketahui, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, menyebut tiket ke Candi Borobudur bakal naik hingga Rp750.000 untuk wisata domestik (Wisdom) dan 100 dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp1.442.050 untuk Wisatawan Mancanegara (Wisman).
"Kalau memang untuk kepentingan konservasi dan menyelamatkan candi Borobudur, kan bisa dengan pembatasan kapasitas saja sudah cukup. Tidak perlu dengan tarif selangit," ujar Tulus dalam pernyataan tertulisnya kepada MNC Portal, Senin (6/6/2022).
Ketika pemerintah menaikan tarif dengan harga yang tidak terjangkau untuk beberapa kalangan masyarakat tertentu untuk melihat peninggalan sejarah, maka sama saja dengan menjauhkan pengetahuan sejarah.
"Kalau tarifnya selangit seperti itu, itu bukan untuk kepentingan konservasi, tapi untuk kepentingan komersialisasi. Nanti hanya orang orang kaya saja yang bisa masuk ke candi," ungkap Tulus.
Menurutnya, kalau alasan lain yang dipakai pemerintah dengan menaikan tarif untuk menutup biaya operasional sendiri, maka pengelola seharusnya bisa memberdayakan tempat wisata yang ada di sekelilingnya.
"Manajemen bisa mengeksplorasi kawasan candi dengan wahana yang lain, yang bisa dikomersialisasikan," kata Tulus.
"Contoh, candi ternama di Kambodia, Angkor Wat, yang lebih terkenal dari Borobudur, tarifnya masih murah, untuk orang asing saja hanya 20-26 USD. Angkor Wat tetap eksis, bisa mendatangkan jutaan turis juga," tuturnya.
Editor : Mukmin Azis