BALIKPAPAN, iNewsBalikpapan.id - Sejumlah stakeholder meminta warga mampu khususnya di Kalimantan Timur untuk tidak menggunakan elpiji subsidi 3 kg sebab pada dasarnya sasarannya hanya untuk orang yang kurang mampu, usaha mikro, nelayan sasaran dan petani sasaran.
"Mbok, sekali-sekali dipakai urat malunya. Itu bukan gengsi beli tabung gas elpiji 3 Kg, namanya kemampuan. Kalau ingin dianggap orang mampu, kaya, buat apa turun kelas lagi," ucap Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Unmul Hairul Anwar menyikapi soal persoalan Elpiji 3 kg ini.
Dia bahkan meminta kesadaran masyarakat mampu agar betul-betul bisa beralih ke non subsidi. Masyarakat pun sebenarnya bisa ikut mengawasi.
"Kami khawatir yang bergerak nanti masyarakat. Rawan menimbulkan gesekan di bawah. Nanti kalau antri, ternyata ada yang menunjuk orang lain, wah kamu kan kaya. Ini kan yang bisa terjadi gesekan di bawah," tandasnya.
Namun disisi lain pemangku kepentingan termasuk pemerintah dan pertamina agar lebih memanfaatkan teknologi dengan memberi tanggungjawab lebih kepada distributor, agar menerapkan kontrol pembelian ke agen-agen yang lebih kecil, serta memperhatikan hal-hal yang berkembang dan berpotensi mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan.
"Selama ini tidak ada yang mengawasi, belum lagi mekanismenya seperti apa. Jadi saya pikir ini jaman teknologi yang tidak lagi 4.0 tapi sudah 5.0 maka teknologi dipakai. Terserah, mau membelinya tidak perlu tunai lagi, pakai mekanisme non tunai jadi lebih terkontrol. Siapa saja yang membeli," tambahnya.
Melalui hal itu, diharapkan ada upaya kontrol mekanisme penjualan elpiji 3 Kg.
"Misalnya, mohon maaf, yang termasuk warga miskin tapi kalau belinya sering maka bisa terkontrol. Jadi bagi saya harus pakai teknologi. Minimal transaksinya bisa kita cek. Sederhana bagi saya, bisa juga memodifikasi pakai chip di tabung gas. Kita bisa tracking. Sesekali kita tracking. Teknologi itu tidak mahal dan harus dicoba," ulasnya.
Ia mencontohkan, tabung gas industri biasanya diberi nomor. Hal ini diketahuinya saat melakukan tender penyediaan tabung gas untuk suatu rumah sakit di Banda Aceh.
Sementara sampai saat ini tidak ada alat kontrol yang bisa membatasi mekanisme pembelian elpiji 3 Kg.
Kemudian hal sulit yang lain, kata dia, terkait dengan UMKM yang sudah berkembang.
"Bertambah setiap hari dan pengusaha semakin mudah berkreasi seperti membangun usaha warung kopi, kafe, atau kedai yang semuanya menggunakan gas sebagai bahan bakar industrinya. Termasuk usaha nasi goreng atau tahu tek tek juga menggunakan gas," katanya.
Menurut Hairul, bentuk usaha tersebut sangat sensitif terhadap perubahan harga-harga barang. Akibatnya suplai dan demand gas di pasar mengakibatkan harga melambung tanpa terkontrol.
"Salah satunya dipengaruhi pertumbuhan UMKM. Dalam hal ini jangka pendeknya mau tidak mau baku rata, tetapi masalahnya terselesaikan," ungkapnya.
Karena sampai saat ini tidak ada pengawasan. Aturan tanpa pengawasan sama saja dengan penganiayaan. Sama seperti kita membuat KUHP dan sebagainya tanpa polisi, tidak berjalan.
Penjualan elpiji 3 Kg minim pengawasan, hal ini disinyalir menjadi salah satu pemicu kelangkaan tabung gas melon.
Hairul Anwar menambahkan sejak Indonesia melakukan migrasi bahan bakar rumah tangga dan industri dari minyak tanah ke gas, maka harus didukung kebijakan negara.
"Harus populis, kan ada unsur politiknya. Semua sadar itu. Aturan dibuat, yang masyarakat mampu enggak boleh membeli elpiji 3 Kg dan segala macam, cuma yang tidak ada itu bagaimana mekanisme pengawasannya. Karena gas kita tidak punya barcode," ujarnya.
Ketua Komisi 2 DPRD Kota Balikpapan Suwanto meminta agar masyarakat menengah atas diimbau untuk menggunakan elpiji 5,5 kg atau 12 kg sehingga elpiji 3 kg benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat yang kurang mampu.
"Intinya masyarakat mampu tidak membeli elpiji 3 kilo, karena menjadikan kondisi tidak tepat sasaran," kata Suwanto, (31/7/2023).
Politisi dari Fraksi Partai PDIP itu mengungkapkan bahwa faktanya tak hanya di masyarakat saja di sektor usaha juga banyak ditemukan pelaku usaha besar masih saja menggunakan elpiji melon untuk digunakan sehari-hari. Padahal gas melon ini diperuntukkan bagi masyarakat usaha mikro.
"Restoran besar juga jangan gunakan elpiji subsidi, sesuai dengan porsinya aja," tegasnya
Dalam kesempatan ini, Komisi 2 berencana akan meminta ke Pemerintah Kota Balikpapan bagian ekonomi dan juga Dinas Perdagangan untuk mendata ulang terkait keperluan tabung gas warga.
"Praktis kan Balikpapan saat ini kota Penyangga IKN pastinya terjadi pertambahan jumlah penduduk dan untuk itu kami meminta ada pendataan ulang berapa jumlah warga terkait kebutuhan tabung elpiji subsidi," tutupnya.
Terpisah Hiswana Migas Balikpapan juga berharap Sosialisasi dan edukasi perlu digalakkan untuk meminimalisasi penggunaan gas elpiji 3 Kg bagi masyarakat mampu.
Ketua Hiswana Migas Balikpapan Christopel mengatakan segala upaya sudah dilakukan semua pihak terkait, termasuk memberi sanksi ke agen dan pangkalan. Dilanjutkan dengan operasi pasar sudah dilakukan semua.
"Mungkin kita harus lebih giat lagi mengedukasi dan bersosialisasi kepada masyarakat. Jadi batasan, karena selama ini mungkin ada masyarakat yang tidak mengetahui karena keterbatasan informasi dan sebagainya. Mungkin akan lebih baik lagi kalau lebih gencar lagi sosialisasinya. Contohnya misalkan kita pasang iklan gas elpiji 3 Kg hanya untuk masyarakat miskin. Pasang baliho," katanya.
Dia menilai sosialisasi dan edukasi masih kurang masif. "Kurang intens, kemarin dari operasi pasar masih banyak orang yang tidak tahu, bermobil datang ke pasar. Kita kasih edukasi di tempat. Akhirnya mereka yang sadar langsung beli Bright gas. Kalau masih belum menerima, mereka langsung keluar saja. Jadi kalau menurut kami edukasi sosialisasi itu sangat penting. Sosialisasi ini harus menimbulkan rasa malu," tandasnya.
Menurut Christopel sebaiknya warga mampu menggunakan gas 5 Kg atau 12 Kg sama saja. Karena toh mereka belum pernah merasakan bagaimana bagusnya dari sisi tabung, sisi safety dan kuantitinya yang terjaga. Jadi lebih hemat menurutnya, namun kebanyakan masyarakat melihat harga di depan.
Selain itu, Christopel juga melihat bahwa banyak pelaku usaha bertitel UMKM yang sebenarnya sudah bukan mikro lagi. Misalnya ada usaha bakso yang penghasilnya mungkin sudah lebih Rp 1 juta setiap hari.
"Maksudnya kita untuk mengklasifikasi UMKM yang layak dan yang tidak menggunakan gas 3 Kg. Itu perlu effort dan kesadaran juga dari masyarakat. Sebenarnya kita harus sama-sama bergerak. Tidak bisa hanya dari Pertamina, dari Pemkot, dari Hiswana, harus sama-sama kita jalan. Masyarakat juga paham," tuturnya.
Christopel mengatakan bahwa Hiswana di lapangan memberi penindakan, sosialisasi dan edukasi. Termasuk memberi pengertian kepada UMKM dengan menyampaikan bahwa penghasilan pengusaha sudah lebih dari Rp 1 juta seharusnya tidak memakai gas 3 Kg lagi.
"Kalau kita tidak tepat memberikan gas ini kepada masyarakat dan mengklasifikasi UMKM, kejadian ini akan terulang lagi. Karena tidak ada kesadaran dari masyarakat. Itu paling susah membentuk brand bahwa 3 Kg ini hanya untuk rakyat miskin dan membuat rasa malu membeli 3 Kg padahal kita ini mampu," imbuhnya.
Editor : Mukmin Azis