Pada tahap pertama, Ganjar-Mahfud akan menggelar dedieselisasi alias konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke pembangkit listrik berbasis EBT, seperti tenaga surya dan angin.
"Kita tidak lagi merencanakan PLTU yang baru. Jangan lagi membuat PLTU batu bara lagi. Kita mulai yang paling aman dulu. Tentu pertama kali energi surya. Energi surya sudah banyak dibangun, perbanyak," ucap Agus.
Untuk PLTS, Agus mencontohkan pembangkit yang sudah beroperasi di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Ia meyakini PLTS bisa direplikasi di berbagai daerah yang potensi energi anginnya besar dan stabil.
"Tetapi pembangkit listrik energi angin itu masih menunggu power purchase agreement dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) atau perjanjian pembelian tenaga listrik yang dilakukan oleh PT. PLN dengan pengembangan listrik swasta," kata Agus.
Untuk tahap selanjutnya, menurut Agus, Ganjar-Mahfud bakal memperbanyak membentuk desa mandiri energi berbasis EBT lokal. Ia mencontohkan desa-desa yang mengandalkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) atau berbasis bioenergi dari bahan organik seperti biomassa dan biogas .
"Beberapa di Jawa Tengah ada juga (yang pemenuhan energinya didapat) dari kotoran-kotoran sapi. Jadi, ada biogas dan itu bisa juga dipergunakan kalau untuk keperluan rumah tangga," ucap Agus.
Tahap, selanjutnya ialah mengembangkan energi panas bumi yang ketersediannya melimpah ruah di Indonesia. Banyaknya potensi energi panas bumi di Indonesia tak lepas dari lokasi Indonesia yang dilewati oleh cincin api Pasifik.
"Kita punya sumber panas bumi yang tinggi, kurang lebih sebesar 30 giga watt. Tetapi, kita baru memanfaatkannya masih belasan persen, yaitu sekitar sebelas sampai dua belas persen," ucap Agus.
Agus mengakui pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tidak gampang. Pasalnya, Indonesia perlu teknologi geothermal yang bisa menembus perut bumi dan mendekati magma hingga sekitar 2000 meter.
"Kemungkinan memerlukan waktu lebih dari 5 tahun hingga beroperasi," kata dia.
Segala ikhtiar transisi EBT itu, kata Agus, perlu didukung dengan transformasi format power purchase agreement (PPA) PLN yang lebih mendukung transisi EBT.
"Dalam mengerjakan ini, tinggal PPA dengan PLN nantinya yang harus kita benahi. PLN itu kan di satu sisi dia sebagai korporat harus mendapatkan laba. Tetapi, dia juga harus jadi pelayan masyarakat," ucap Agus.
Langkah terakhir ialah mendorong percepatan penggunaan kendaraan bermotor listrik untuk mengurangi emisi karbon. "Walau mungkin tidak selesai dalam waktu setahun. Tetapi, urutan kita harus menuju ke arah sana," jelas Agus.
Editor : Mukmin Azis
Artikel Terkait