3. Tidak Menghadap Kiblat
Para ulama menyarankan sebagai bentuk pemuliaan kepada Ka'bah, maka sebaiknya kita tidak melakukan jima' sebaiknya dengan menghadap kiblat.
Hal itu tertuang dalam beberapa kitab para ulama di masa lalu, semisal kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Jawahirul Iklil, Al-Mughni, Kasysyaf Al-Qina', Ihya' Ulumuddin, dan lainnya.
Barangkali dalilnya adalah qiyas antara jima' dengan buang air, yang dianjurkan untuk tidak menghadap atau membelakangi kiblat.
4. Diawali Dengan Percumbuan
Syariat Islam menganjurkan agar dalam melakukan jima' tidak langsung kepada hubungan badan, melainkan diawali terlebih dahulu dengan percumbuan (mula'abah), mencium (taqbil), dan sentuhan-sentuhan.
Tidak ada dasarnya hadits yang kuat dan bisa dijadikan sandaran, kecuali sepenggal hadits dhaif berikut ini :
نَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُوَاقَعَةِ قَبْل الْمُلاَعَبَةِ
Rasulullah SAW melarang melakukan jima' sebelum mula'abah. Mula'abah secara bahasa berarti bermain-main, dari kata la'iba - yal'abu (لعب يلعب), tapi maksudnya adalah permainan yang menjadi pembuka atau pemanasan dari hubungan suami istri. Sering juga disebut dengan istilah foreplay.
5. Tidak Selesai Sendirian
Sangat dianjurkan bagi pasangan suami istri yang melakukan jima' untuk mencapai orgasme bersama, atau setidaknya tidak meninggalkan pasangannya kecuali setelah sama-sama mendapatkan puncak kenikmatannya.
Dan hal itu merupakan anjuran yang dijelaskan di dalam salah satu hadits nabi :
إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَصْدُقْهَا، ثُمَّ إِذَا قَضَى حَاجَتَهُ قَبْل أَنْ تَقْضِيَ حَاجَتَهَا فَلاَ يُعْجِلْهَا حَتَّى تَقْضِيَ حَاجَتَهَا
Bila salah seorang dari kalian melakukan jima' dengan istrinya, maka lakukan dengan sungguh-sungguh.
Bila sudah terpuaskan hajatnya namun istrinya belum mendapatkannya, maka jangan tergesa-gesa (untuk mengakhirinya) kecuali setelah istrinya mendapatkannya juga. (HR. Ahmad).
Editor : Mukmin Azis