Kerjasama tersebut mampu meningkatkan pendapatan warga, di satu sisi. Namun di sisi lainnya, negara itu justru menghadapi buruknya kondisi kehidupan para pengungsi, hingga menimbulkan kecaman.
Masalah ini mendorong tercetusnya kesepakatan baru untuk memindahkan kelompok-kelompok pengungsi rentan ke Kamboja dan Amerika Serikat. Dengan begitu pula pendapatan Nauru dari penangnan pengungsi menjadi berkurang.
Seorang pendeta Gereja Jemaat Nauru. James Aingimea merasa prihatin dengan kondisi negaranya. Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar The New York Times, Ia berandai-andai jika saja fosfat tak ditemukan.
“Saya berharap kita tidak pernah menemukan fosfat tersebut. Masa kecil saya sangat indah. Sekarang saya melihat apa yang telah terjadi di sini dan saya ingin menangis," tuturnya.
Eksploitasi sumber daya alam Nauru tanpa didahului dengan analisis dampak lingkungan serta diversifikasi ekonomi membawa negara itu pada keterpurukan. Tadinya Nauru tampak sebagai surga di Pasifik. Namun penambangan fosfat kini mengubah tanah di negara tersebut seperti penampakan bulan.
Daratannya dipenuhi batu kapur yang tidak bisa ditanami, bahkan untuk mendirikan bangunan di atasnya. Mungkinkah negara itu mengalami apa yang disebut sebagai kutukan sumber daya alam?.
Artikel ini telah tayang di www.inews.id dengan judul Kisah Nauru, Salah Satu Negara Terkaya di Dunia yang Kini Jatuh Miskin
Editor : Mukmin Azis
Artikel Terkait